Kamis, 14 April 2011

OBAT STRES DARI DIRI SENDIRI

Kehidupan yang kompleks dengan segala persoalannya tidak jarang membuat sebagian orang merasa tertekan sehingga mudah mengalami gangguan stres. Kondisi tersebut bisa dialami siapa pun, terutama masyarakat yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) tahun 2008, diketahui bahwa 14 persen dari 7,3 juta penduduk Ibu Kota terkena gangguan stres.

Pada umumnya, stres lebih banyak disebabkan oleh gangguan emosional.

Berdasarkan definisinya, gangguan stres merupakan suatu kondisi dinamis ketika seorang individu dihadapkan pada peluang, tuntutan, atau sumber daya yang terkait dengan apa yang dihasratkan oleh individu itu dan hasilnya dipandang tidak pasti dan penting.

Sebenarnya, stres tidak selalu berkonotasi dan berkonteks negatif. Kondisi itu bisa pula memberikan dampak positif pada orang yang mengalaminya.

Sebagai contoh, stres tantangan karena seseorang ingin menyelesaikan pekerjaan di tempat kerja berbeda dengan stres hambatan ketika seseorang mengalami hambatan dalam memperoleh hasrat yang di nginkan.

Stres tantangan memiliki implikasi negatif yang lebih sedikit dibanding kan dengan stres hambatan. Orang yang mengalami stres tantangan berpeluang mendapatkan perubahan yang positif dari hal-hal yang dipikirkannya yang menjadi pemicu stres.

Seorang pekerja profesional, misalnya, akan memandang tekanan berupa beban kerja yang berat dan tenggat waktu yang mepet sebagai tantangan positif untuk menaikkan kualitas kinerjanya.

Ketika terjadi peningkatan kualitas kinerja, dia pun akan merasakan suatu kepuasan tersendiri. Kondisi stres pada diri seseorang biasanya muncul akibat adanya perubahan kondisi tubuh yang dipicu oleh stressor.

Secara biologis, stres terjadi karena adanya perubahan kimiawi dalam tubuh. Dalam kondisi stres, tubuh dapat mengalami gangguan berbagai penyakit seperti, jantung, sakit perut, kegemukan, flu, kanker, penyakit psikologis, dan gangguan psikiatrik.

Baru-baru ini, tim peneliti dari Pusat Penelitian Biotek Riset dan Inovasi (BRIC) Universitas Copenhagen, Denmark, meneliti tentang kemungkinan tubuh mengatasi stres sendiri secara alami.

Hal itu berdasarkan pemikiran tubuh dapat melakukan perubahan hormonal yang berguna untuk menjaga kondisi tetap baik ketika menghadapi stres. Perubahan senyawa kimia pada molekul-molekul di dalam tubuh dapat membantu mengontrol aktivitas gen agar berjalan normal dan tidak menimbulkan kerusakan.

Hal itu menyebabkan paparan polusi, asap rokok, racun bakteri, termasuk pikiran yang sedang kacau, dapat dihadapi dengan baik. Menurut Klause Hansen, salah seorang peneliti di BRIC, Universitas Copenhagen, Denmark dalam kondisi stres, sel tubuh harus bereaksi terhadap serangan perubahan kimia demi mempertahankan fungsi normal tubuh.

Ketika stres muncul dan tidak bisa dilawan dengan gen normal pada tubuh, tubuh akan mengaktifkan gen lain untuk melawannya. Dapat Dikontrol Pada kondisi normal, gen untuk melawan “tekanan” itu berada dalam keadaan diam atau non-aktif.

Namun, ketika kondisi stres muncul, gen tersebut sebenarnya dapat digunakan untuk menyelamatkan keadaan. “Kami menemukan fakta bahwa stres dapat dikontrol dengan menukar kerja gen yang ada dengan gen lain yang diam pada kondisi normal,” ujar Hansen yang mengaku sangat tertarik untuk memahami bagaimana gen manusia dapat dihidupkan dan dimatikan.

Mekanisme penukaran kerja gen seperti itu terjadi pula pada perempuan yang tengah mengandung. Ketika sang ibu mengalami stres, janin yang ada di dalam rahim tersebut turut pula mengalami gangguan akibat kurangnya pasokan nutrisi.

Namun, hebatnya, kondisi itu bisa segera diatasi karena tubuh dapat menghidupkan fungsi gen-gen diam. Dalam kondisi tubuh normal alias tidak mengalami tekanan, gen pengganti itu bisa dikatakan tidak berguna.

Apabila aktif, gen tersebut justru hanya akan mengganggu selsel saraf otak. Penyebabnya, gen akan menghasilkan hormon dan molekul yang berbeda yang tidak diperlukan dan justru merugikan.

“Stres berkepanjangan menyebabkan sel-sel saraf di otak memproduksi hormon dan molekul sinyal yang tidak dihasilkan pada kondisi normal karena hanya akan mengganggu fungsi otak,” kata Simmi Gehani, peneliti lainnya, seperti dikutip Sciencedaily.com. Gehani menjelaskan penelitian yang dilakukan timnya menunjukkan secara kimia, kompleks protein tertentu yang berbeda dapat bertemu dengan protein histon yang memiliki fungsi mengatur DNA dalam tubuh.

Perubahan kimia pada tubuh dengan kendali protein histon akan menentukan apakah protein tersebut harus aktif atau tidak pada kondisi stres tertentu yang manghasilkan perubahan hormon dan susunan molekul.

Dalam studi tersebut, para peneliti membuat analisis kompleks yang mereka sebut dengan “PRC2.” PRC 2 menganalisis adanya sejumlah kelompok kimia metil yang mengikat diri ke dalam protein histon ketika terjadi stres. Setelah sejumlah kelompok kimia metil mengikat gen normal, gen itu akan segera dimatikan atau tidak diaktifkan.

Gehani memaparkan terjadinya perubahan pada kondisi itu karena faktor stres menginstruksikan enzim MSK untuk mencari kelompok kimia lain dalam tubuh. Enzim MSK akan mencari kelompok kimia lain dari gugus fosfat ke gugus metil pada histon.

Selanjutnya, kelompok fosfat akan mematikan aktivitas kelompok metil untuk menghidupkan gen spesifik yang berguna dalam menghadapi stres. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa fungsi mematikan gen adalah untuk mencegah adanya gangguan terhadap perkembangan seluler, identitas, dan pertumbuhan.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa mengatasi stres sebenarnya bisa dilakukan dengan memanfaatkan faktor internal dari tubuh sendiri.
hay/L-2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar